Dalam sebuah insiden yang menghebohkan di Kota Magelang, Jawa Tengah, seorang remaja berinisial DRP (15 tahun) diduga menjadi korban salah tangkap dan penyiksaan oleh pihak aparat. Peristiwa ini memunculkan sorotan tajam mengenai penanganan kasus di kalangan anak di bawah umur, terutama yang berkaitan dengan penegakan hukum. Selain perlakuan kasar, ada pula dugaan bahwa data pribadi DRP disebarkan tanpa izin, menambah buruk situasi yang dialaminya.
Dari pengakuan orang tua korban, perlakuan aparat sangat mencederai hak asasi manusia, terutama hak anak. LBH Yogyakarta, lembaga yang mendampingi kasus ini, menyatakan bahwa mereka telah melakukan langkah-langkah hukum dengan melaporkan kejadian ini kepada Polda Jateng.
Direktur LBH Yogyakarta, Julian Duwi Prasetia, menyampaikan bahwa orang tua DRP merasa tidak terima atas perlakuan tersebut. Dalam wawancara, ia mengatakan bahwa laporan resmi telah diajukan mengenai tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat kepada DRP.
Detail Insiden Penangkapan dan Tindakan Aparat yang Tidak Pantas
Berdasarkan keterangan dari orang tua DRP, insiden bermula saat ia hendak membeli bensin dan melakukan pembayaran untuk jaket yang dipesan. Tiba-tiba, tanpa alasan yang jelas, ia ditangkap oleh aparat ketika terjadi kerusuhan di depan Polres Magelang. Dita, ibu DRP, menegaskan bahwa anaknya tidak terlibat dalam demonstrasi tersebut dan hanya kebetulan berada di lokasi.
Menurut Dita, DRP ditangkap saat berada di sekitar lokasi kerusuhan dan kemudian dibawa ke kantor polisi. Ia mengalami perlakuan yang tidak pantas selama berada di kantor polisi, dan lebih parahnya lagi, anaknya mengalami penyiksaan fisik yang cukup parah.
Sementara itu, Royan Juliazka Chandrajaya selaku penasihat hukum keluarga DRP, mengungkapkan bahwa anak tersebut sempat diizinkan menginap semalam di tengah kondisi yang menyedihkan. Ia tidak diberikan makanan dan diperlakukan secara kasar bersama tahanan dewasa lainnya.
Kronologi Penangkapan dan Penyiksaan yang Dialami Korban
Royan menjelaskan kronologi penangkapan DRP saat kerusuhan di Polres Magelang. Selain ditangkap secara sewenang-wenang, DRP juga mengalami berbagai tindakan penyiksaan di luar batas. Pengacara tersebut menyoroti bagaimana selama di penahanan, DRP mengalami tekanan fisik yang berat, sampai dipukul dan ditampar oleh aparat kepolisian.
Penyiksaan yang diterima DRP tidak lepas dari upaya untuk memaksanya mengaku terlibat dalam aksi perusakan, suatu tuduhan yang tidak benar. Royan menggambarkan kondisi traumatis yang dialami oleh kliennya setelah kejadian tersebut, yang membuatnya merasa malu dan tertekan. Bahkan, ia harus menjalani wajib lapor hingga akhir bulan September.
Di sisi lain, pengacara berharap agar proses hukum atas laporan mereka segera ditindaklanjuti. Mereka menginginkan keadilan bagi DRP serta memberi pelajaran kepada aparat supaya kejadian serupa tidak terulang di masa mendatang.
Penyebaran Data Pribadi dan Implikasinya bagi Korban dan Keluarga
Selain fisik, DRP juga menjadi korban penyebaran data pribadi yang tidak sah. Setelah ditangkap, berbagai informasi pribadinya, termasuk nama, alamat, dan foto, tersebar di grup WhatsApp warga. Royan mendesak pihak berwenang agar segera menginvestigasi siapa yang telah menyebarluaskan data tersebut, yang merupakan pelanggaran serius.
Informasi pribadi yang disebarkan secara luas tidak hanya merusak reputasi DRP, tetapi juga memberi dampak psikologis yang mendalam. Saat menjelaskan keadaannya, Royan mengungkapkan bahwa rasa trauma dan malu yang dialami DRP cukup parah, bahkan membuatnya terancam dikeluarkan dari sekolah.
Selain itu, tindakan aparat yang tidak profesional ini memberikan pengaruh besar terhadap keluarga DRP, yang merasa tertekan dan tidak nyaman. Dita sebagai ibu merasakan dampak psikologis dan sosial yang signifikan, mengingat banyak orang yang menilai DRP berdasarkan tuduhan yang tidak benar ini.
Respons Pihak Berwenang terhadap Kasus Ini dan Harapan Keluarga Korban
Kepala Bidang Humas Polda Jateng, Kombes Pol Artanto, memberikan pernyataan bahwa pihak kepolisian akan berkomitmen untuk menangani laporan ini secara transparan dan profesional. Ia mendorong keluarga korban untuk membuat laporan resmi agar proses hukum dapat berjalan jelas dan terukur.
Artanto meyakini bahwa setiap aduan akan ditindaklanjuti dengan serius, dan mereka berkewajiban untuk membuktikan laporan yang masuk. Sebagai upaya memperbaiki citra diri, pihak kepolisian berusaha melakukan perbaikan prosedur demi mencegah pelanggaran hak asasi manusia di masa depan.
Dengan harapan agar kejadian serupa tidak terulang, masyarakat diharapkan aktif dalam mengawasi dan melaporkan tindakan yang tidak etis dari aparat. Keluarga DRP berharap keadilan dapat segera tercapai, dan semua pihak yang terlibat dalam penyalahgunaan wewenang akan diproses secara hukum.
